Sabtu, 11 Januari 2014

DASAR DASAR MEMAHAMI PUISI KOTEMPORER.kd.7D/XII-XII/2014

DASAR DASAR MEMAHAMI PUISI KOTEMPORER.kd.7D/XII-XII/2014
Kajian Puisi dari Pandangan

       ABSOLUTISME


A.  Pengantar Teori
Dalam kajian sastra telah disebutkan baik kajian karya sastra bentuk prosa maupun puisi dapat dilakukan  dengan  cara  kaji  yang  manganut   pandangan  Absolutisme, relatifisme   maupun  cara kaji prerspektif. Dalam tiga cara kaji sastra tersebut di atas saya sengaja akan mengkaji sebuah karya puisi dari satu di antara tiga cara kaji yang ada. Pilihan itu saya lakukan hanya semata-mata  karena keterbatasan saya dalam memilih cara tersebut, tetapi bukan karena dengan cara kaji ini berarti saya mutlah mendukung teori tersebut. Cara kaji yang saya pilih adalah kajian karya puisi secara pandangan Absulutisme, yang saya tekankan pada pilihan kata ( diksi ) dan bunyi yang ada dalam puisi sesuai dengan penugasan yang harus saya selesaikan. Sebagai penekanan dalam jara kaji Absolutisme yang saya pilih akan saya ambil beberapa puisi tulisan kawula muda yang senafas dengan puisi Taufik Ismail yang berbeda tingkat kemampuan,waktu serta kondisi penulisnya. Hal ini akan membuktikan benarkah masalah pilihan kata serta bunyi yang ada pada puisi di kedua jaman itu benar-benar mendukung ke-Absolut-an dari cara pandang teori tersebut.

B. Kajian Absolutisme, adalah pandangan penilaian terhadap karya sastra baik bentuk       puisi   maupun  prosa  yang dilandasi  atas nilai-nilai tertentu , di mana sebuah kebenaran yang berlaku hanya dilandasi  atas  hal – hal yang tidak mendasar melainkan  semata – mata  karena  sebuah  kekuasaan tertentu saja. Kebenaran yang ada hanya didasarkan atas kemauan atau kehendak yang memegang kekuasaan pandangan. Misalnya, suatu rejim memberlakukan suatu pandangan atas kehendak yang diminati tanpa memperhatikan tanggapan atau penilaian lain yang mungkin berbeda atau tidak sama maka itu yang dianggap paling benar, sebaliknya jika sesuatu tidak dikehendaki maka hal tersebut ditolak atau tak dapat diberlakukan tanpa diberi alasan yang logis.Misalnya pada rejim orde baru menerapkan pandangan bahwa buah karya sastra yang dicipta golongan  kiri( golongan tak dikehendaki / PKI atau semua penganut ajaran marsisme)saat itu, akan dinyatakan sebagai hasil karya yang tidak layak terbit dan dibaca masyarakat. Sehingga karya sastra yang ditulis atau diterbitkan oleh golongan tersebut dinyatakan tidak bernuansa kebenaran,kebaikan atau segala macam ketidak-cocokan.Sebagai contoh konkrit pengarang besar negeri ini yang diakui dunia Pramudya Ananta Tour dengan seluruh karyanya mengalami pembekuan bahkan pembredelan saat orde baru berkuasa. Sehingga masyarakat dilarang  keras  untuk  memiliki, menyimpan   bahkan   membacanya. Sehingga karya     seperti Perburuan,Keluarga Gerilya,Di Tepi Kali Bekasi,Rumah Kaca,Anak Semua Bangsa hingga “tetralogi” BUMI MANUSIA  merupakan karya besar dunia dinyatakan terlarang dan tidak boleh beredar di negeri ini, tanpa ada alasan yang jelas serta penilaian yang mendasar.Masih banyak contoh karya sastra yang mengalami nasib sama dari dua karya prosa  demikian pula dalam  bentuk puisi dengan kata lain disebut-sebut karya atheis.Contohnya buku-buku karya Pramudya dan pengarang lain yang segolongan.Namun sebaliknya semua eksplosif seperti karya Taufik Ismail yang berbentuk puisi (dalam kumpulan puisinya Tirani dan Benteng) disebut-sebut karya yang baik, sukses . Hal ini semata-mata dirasa sesuai dengan jaman saat itu yang memang mendambakan nuansa keagamaan di mana masyarakat sangat ketakutan untuk disebut-sebut oleh rejim orde baru  sebagai aliran fasisme. Sehingga sajak Taufik yang berjudul  Yang Kuminta Hanyalah atau   Seorang  Tukang Rambutan pada Istrinya, bahkan Surat Ricarda Huch yang ditulis pada tahun 1933 disebut karya yang berhasil, lepas dari kelebihan dan kekurangannya sebagabagimana yang dikemukakan oleh  H.B.Yassin dalam bukunya yang berjudul Angkatan ’66  Prosa dan Puisi , bahwa karya Taufik tersebut sangat bernilai estetis yang tinggi.

Hal ini memang perlu diakui bahwa puisi Tafik Ismail memiliki nilai yang cukup tinggi baik karya prosa maupun puisi yang bercorak tertentu yang diminati dan bersifat,jika ditinjau dari sisi estetika, maupun unsur penunjang puisi yang lain. Coba perhatikan    permainan    bunyi   pada  baris – baris  puisi   JAM  KOTA , berikut ini
                        ……………………………….
                        Kotaku yang nanar sehabis perang
                        Wajah  muram dan tubuh luka garang
                        Detak tapal kuda satu-satu
                        Wahai, pandanglah mukaku !

Permainan   rima  di  akhir  baris (ng – ng – a -a dalam puisi lama disebut rumus sajak   
a-a-b-b)  sangat   padu  sehingga  nuasa  estetika  yang   tampak  terasa  bahwa pilihan
bunyi untuk menutup larik  lariknya  benar - benar  dipertimbangkan. Lain lagi jika di    
perhatikan dari  kata  yang  menonjolkan   bobot  maknanya,  sementara  unsure  rima
agak  disisihkan,  maka  dapat  ditemukan  pada  baris-baris  puisinya   yang  berjudul
Dari Ibu Seorang Demonstran ;
                        ……………………………………
                        Tetapi ingatlah , sekali lagi
                        Jika logam itu memuat nama kalian
                        (Ibu itu tersedu sesaat )
                        Ibu relakan
                        Tapi jangan di saat terakhir
                        Kau teriakkan kebencian
                        atau dendam kesumat
                        Pada seseorang
                       Walau betapa zalimnya…orang itu.

                                                - 3 -

Dari  pengamatan puisi-puisi karya Taufik  Ismai  di atas  bukan berarti pengecilan  karya
penulis lain yang waktu,isi,serta hal-hal yang terkait dengan beberadaan sebuah puisi      berarti   tidak   bernilai  atau  bahkan   tak   pernah  diakui  oleh   suatu   jaman. Di sinilah
ke-Absolutan sebuah kajian sastra khususnya bentuk puisi yang harus diakui bahwa kebesaran nama penulis sangat menentukan keputusan yang cukup berpengaruh dalam  suatu jaman, walau kadang karya lain yang disajikan penulisnya memiliki derajat yang sama tetapi nasib yang dialaminya sangat berbeda.Hal ini dapat dibuktikan dalam  berbagai masalah dan obyek persoalan.Perhatikan dua petikan puisi di bawah ini yang disajikan oleh dua penulis yang berbeda nama tetapi memiliki waktu,tema bahkan unsur penunjang hampir  beda.

Kutipan Puisi :

1.      Syair Orang Lapar                                 2.       Saat  Mata  Ku  Memandang

      Lapar menyerang desaku,                               Kaliku    memerah    airnya.
                                                                        Warananya tak membiru lagi
                  Kentang dipanggang kemarau,                       Anak-anak gila pandang
                 Surat Orang kampungku,                                Berlari tunggang langgang
                  Kuguratkan kertas                                           Saat  banyak jasat
                                       Risau.                       lewat terikat erat
                                                                        bak ketupat.
Lapar lautan pidato,
Ranah dipanggang kemarau,                          Kaliku merah airnya
                 Ketika berduyun mengemis,                           bau amis,anyir
                 Kesinikan hatimu                                            pelan menyisir
                                        Kuiris.                     Kaliku menangis

                                                                        Seluruh muka merah
                                                                        warna darah
                  Lapar di Gunung kidul,                                   Saat mataku memandang ,
                 Mayat di panggang kemarau,                          kaliku,……
                  Berjajar masuk kubur,                                     hatiku goyah,…patah
                 Kuulang juga,                                                  pandang …kaliku
                                                            Kalau.                    Muka warna d a r a h.

                                                                                   Oleh: Iwan Setyawan 1966
                                           
Jika diperhatikan dua puisi di atas maka dapat dirasakan bahwa puisi 1 dan puisi 2 adalah puisi yang pilihan kata (diksi) maupun bunyi yang dikehendaki penulisnya benar-benar telah dipikirkan sebaik-baiknya.Sementara dalam puisi bunyi mempunyai peran yang sangat penting,antara lain jika dibaca dan didengarkan sebab pada hakikatnya puisi adalah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti,2002:102). Mengingat pentingnya  unsur   bunyi   dalam   karya  puisi  sampai - sampai   seorang   penulis   puisi
- 4 -

melakukan pemilihan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi.Pertimbangan tersebut antara lain ; Pertama, bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran atau perasan para pembaca atau pendengarnya. Kedua, bagaimanakah bunyi itu dapat membantu menjelakan ekspresi.Ketiga, ikut membangun suasana puisi tersebut.Keempat, mungkin juga membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu ( Sayuti, 2002 : 103 ).Sementara unsur bunyi itu sendiri dalam karya puisi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam,antara lain dari sisi bunyi hingga dibedakan antara sajak sempurna,paruh,aliterasi,asonansi.Sementara dari kata yang mendukung dibedakan menjadi sajak awal,sajak tengah dan sajak akhir.Jika dilihat dari hubungan antar baris dalam tiap  bait dikenal adanya sajak terus, sajak selang, sajak berangkai dan sajak peluk.   Tetapi kebenaran tentang cara kaji atau cara pandang Absolutisme di sini membuktikan bahwa puisi 1 jauh diagungkan bersama nama besar penulisnya, sedang puisi 2 tidak akan banyak diketahui oleh khalayak saat ini.Sementara dalam hal bunyi maupun pilihan kata pada   puisi   2  mungkin   tidak  banyak   tertinggal  jauh  baik   dari  penyesuaian   waktu  
maupun suasananya. Perlu  di  ketahui   puisi  2  adalah  puisi  yang  terbit  pada  harian  ibu kota (Pos Kota ) pada tahun 1965 bulan desember minggu ke 3. Sementara pada puisi 1 ditemukan sajak asonansi pada baris 3dan 4 dan sajak aliterasi pada puisi 2 juga pada  baris 5,6 dan 7 masih dalam bait yang sama.Dalam permainan sajak puisi 2 tidak kalah jauh dalam pemilihannya, sementara pada puisi 1 ditemukan permainan sajak asonansi yang ada pada baris 1,2 dan 3 Puisi-puisi seperti puisi 2 saat itu cukup banyak, di mana nuasan nosinya sangat didasari oleh keadaan negeri ini saat itu. Hal inilah yang sebenarnya mendudukkan sama dengan puisi Taufik yang juga menyuarakan situasi (kelaparan dan kemelaratan )saat itu, pada puisi 2 penulisnya Iwan Setyawan menggambarkan hal yang tidak kalah menakutkan sesuai dengan kejadian yang dilihat,pengalaman yang langsung menghadang di depannya betapa mengerikan kali-kali kecil, sunguai-sungai besar waktu itu menjadikan pembuangan jasat kurban pembantaian orang-orang PKI yang telah difonis begitu saja tanpa melalui proses hokum atau pembelaan layaknya terpidana.Tetapi harus diterima dengan   besar  hati   dan  penuh  kesadaran  bahwa cara pandang  Absolutisme berlaku mutlak, Taufik Ismail jauh lebih besar disejajarkan dengan Iwan Setyawan , “ ini sebuah kenyataan pandangan “.

Untuk mempertegas bahwa masih banyak puisi-puisi yang menjadi kurban pandangan Absolutisme yang semata-mata dilihat dari siapa penulisnya? Tetapi bukan diksi atau pilihan kata serta permainan bunyi yang digunakan melainkan kekuatan keadaan semata. Berikut ini saya kutibkan beberapa puisi yang senafas dengan puisi-puisi karya Taufik Ismail penyair angkatan ’66.

Puisi 3                         
                                      Jenasah 
                                                           Oleh : Iwan Setyawan
Waktu  mandi di kali,
sore hari
Sorak menyeruak, memecah kegaduhan riak
Wajah kali  keseharian yang tak pernah lepas
Setelah anak-anak bermain  gundu di tengah tegal
tangan bergayutan          
tertawa bersautan
langkah-langkah kecil
pelan tapi pasti
menuju kali.
Pecah tawa jadi teriakan
waktu air berguyur
bergebyur ke sekujur

Mata sulap dalam sekejap
Jasat mengapung
kembung,
tanpa gembung
Ini jenasah yang pertama sore
e n a m    l  i m a
jenasah lewat  penuh rasa penat. 

                                                        Nopember sore 1966                                                                          

        C. Kesimpulan

            Dalam kajian satra baik dalam bentuk puisi,prosa bahkan dalam bentuk yang lainnya maka
            tentang cara pandang teori Absolutisme  ini tetap harus  diakui   keberadaannya. Lepas dari
            pendapat setuju atau tidak dalam realita yang ada kekuatan  pandangan tentang sebuah kebe
            naran  yang  dipaksakan  dengan  tanpa  didasari  oleh  sesuatu  hal yang riil kadang-kadang
            memang  harus  diterima. Walaupun  pemberlakuan   teori  ini  sangat  terbatas  oleh  waktu
            Jika kurun waktu  yang  berlaku  terhadap  hasil  karya  yang   absolut  tersebit  masih  eksis
            maka  tidak  mungkin  untuk  mengubah  keadaan  tersebut, sebagaimana disebutkan  dalam
            kajian  sastra  tentang  Absolutisme. Dalam  paparan  di atas harus diakui bahwa karya puisi
            Taufik Ismail “Syair Orang Lapar “ jauh lebih besar,lebih unggul dalam pilihan kata ( diksi)
            maupun  bunyi – bunyi  yang  ditemukan dalam  deretan  baitnya di banding dengan  puisi 2
            “ Saat  Mata Ku Memandang  “ karya Iwan Setyawan  Keabsolutan   inilah yang  berlaku 
            di tengah   kalangan   masyarakat  sampai  saat  ini, sungguh  mengenaskan  bahwa suatu hal
            termasuk  karya puisi akan menjadi kurban keabsolutan pandangan.Ini sisi lain dari pandang
            an teori  Absolutisme yang sekaligus menjadi kelemahan  teori ini.                                          

                                                  -sTy-
               KAJIAN  PUISI  DARI  PANDANGAN
                                   PERSPEKTIF


A.  Pengantar Teori

Kajian Perspektif, adalah  sebuah pandangan atau penilaian mengenai karya sastra (prosa maupun puisi ) dipandang sesuai dengan perspektif yang digambarkan Gambaran tentang sebuah karya sastra dapat didasarkan dari berbagai pandangan  sehingga penilaian atau pandangan tersebut tidak ada yang mutlak melainkan ke depan  pandangan ini dirasakan semakin tumbuh. Dalam kajian perspektif ini memberikan gambaran tentang kebebasan sudut pandang tertentu untuk menyikapi buah karya sastra sesuai dengan proses pertumbuhan atau perjalanan waktu.Dengan demikian kajian ini akan terasa semakin obyektif.Agar jelas tentang kajian perspektif ini dapat disajikan sebuah penilaian terhadap karya prosa atau puisi  tertentu yang ada dalam sebuah jaman.Sebuah karya sastra baik bentuk prosa maupun puisi akan dikatan sesuai atau tidak hanya dilandasi oleh unsur tertentu dari karya tersebut.Misalnya dari unsur bahasa,nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,sudut pandang pelaku,alur atau tendens dalam karya tersebut bahkan mungkin ideologi dan lain-lainnya.Jika diperhatikan beberapa istilah yang dihadirkan oleh penulisnya dalam novel Saman pembaca akan merasa risih atau kurang merasa enak untuk mengucapkan istilah istilah tertentu karena dianggap terlalu,kotor,jorok,tidak sopan bahkan terlalu seronok dalam pilihan katanya  demikian pula dalam Raumanen karya Maria Katopo yang terlalu  berlebihan  dalam  menggambarkan  situasi atau keadaan dalam alur ceritanya, bahkan dalam karya Arminj Pane yang berjudul  Belenggu        (roman)lebih tragis lagi karena mengalami penolakan pada jaman sastra tertentu di negeri ini ,tepatnya pada masa angkatan 20-an (Balai Pustaka )  buku karya Arminj Pane itu sempat gagal terbit karena semata-mata dianggap melanggar norma tertentu (agama), yang telah ditentukan atau dipatok saat itu.Karena isinya menyinggung  salah satu agama di mana tokoh dan isi cerita yang seharusnya bernormatif keagamaan  justru  oleh Arminj  Pane ditempatkan pada posisi titik yang kurang tepat yakni hubungan di luar nikah yang saat itu dianggap norma.
      Hal di atas sebagai penegas tentang kajian teori perspektif ini, tetapi dalam karya puisi pun dijumpai pula hal seperti uraian di atas. Dapat dibuktikan puisi-puisi karya Arminj  Pane yang diberi judul  Jiwa  Berjiwa   (1939) dianggap tidak menarik lagi karena pilihan kata dalam puisinya (diksinya) tidak berkekuatan  sehingga menimbulkan  penilaian bahwa kata-kata yang ada di dalamnya hanya bersifat keseharian saja sehingga tidak dapat menimbulkan minat pembacanya.
       Pandangan tersebut tampaknya tak beralasan kuat bahwa Arminj Pane adalah penulis puisi yang tidak punya nyali, hal ini dapat dijawab pada tulisan berikutnya yang membuktikan bahwa jiwa atau perasaan Arminj Pane berada pada posisi jiwa sesudah perang. Perhatikan puisi Arminj Pane  berikut ini !

           JIWA TELAH  MERENGGAS

      Jiwaku pohon telah merenggas.
            Terujam terhening disenja hari,
            Mengendangkan tangan tegang mati,
            Hari bening, tenang sunyi,
            Bulan bersih dikelir terentang,
            Sepi sunyi alam menanti.

Pandangan semacam hal di atas merupakan perspektif nyata yang pernah ada dalam sejarah seorang penulis bersama karya-karyanya. Perubahan keadaan dari sisi pandang maupun karya-karyanya merupakan pandangan atau penilaian yang beraneka warna adalah realita yang dapat dianggap sebagai kemajuan dalam langkah-langkah sastra khususnya karya puisi.
       Untuk mengikuti pandangan kajian perspektif ini lebih konkrit lagi coba perhatikan puisi di bawah ini !

                  L A L A I  K A H

      Luluh sudah hati ini                                        Semua membuat menjadi merona,
      Walau hanya sesaat                                         Jika mentari,
      Tali kerudung di dahi                                      Mulai berseri,
      Pengikat  rambut  nan lebat                            Waktu hari pagi,
                                                                              Oh… Maha suci hidup ini.
      Saat azan mulai tiba
      Sudah mulai terasa                                                 oleh: Tyas  Ajeng  Natalina
      Membasuh luka                                                                desember akhir 2006
      Lama
      Lama sudah aku mencari jalan
      Rentang menganga                                        
                                                             
Permainan sajak atau rima serta diksi yang ada dalam puisi di atas mungkin biasa saja,bahkan dapat dikatakan terlalu sederhana.Tetapi perlu diakui bahwa permainan bunyi di akhir baris pada bagian-bagian tertentu sudah dapat dibedakan dengan puisi lama yang menitik beratkan pada akhir baris pada bait-baitnya (pantun atau syair).Tetapi penulis muda si Tyas Ajeng ini sudah berani menyusun deretan kata katanya dalam baris yang tidak terikat pada bait yang telah dipatok pada puisi lama.Perombakan inilah yang dapat dipandang dari sisi zaman sastra yang lain di mana puisi yang berjudul  Lalaikah  telah mampu menempati ratusan bahkan ribuan puisi anak-anak  slta  negeri maupun swasta  yang dapat terbit pada kolom kaki langit di majalah Horizon pada saat ini. Dari isinya dapat di tempatkan nilai religius yang kuat di mana saat ini sangat ditunggu betapa nisbinya hal itu bagi kawula muda yang hampir kehilangan pegangan dan bentuk diri yang pasti.

B.  Kesimpulan

Dari kajian perspektif puisi dapat saya simpulkan bahwa karya puisi yang disajikan para penulisnya (penyair) kadang memang dapat dipandang dari sisi berbeda,namun pandangan yang beragam itu dapat menggambarkan betapa kemajauan pandangan dari berbagai analisis dapat dirasakan. Perbedaan pandangan serta kajian tersebut bukan dijadikan sebagai nilai kurang tetapi bahkan sebaliknya.Sebagaimana dalam karya (prosa) Belengggu oleh Arminj Pane maupun Jiwa Berjiwa (puisi) sisi pandangnya pun berbeda sesaat dianggap gagal tetapi pada saat lain mengalami perubahan   pandangan. Hal   itu   bukan  berarti   kesalahan  dalam    suatu   penilaian
atau  kajian tetapi merupakan   pembaruan   dalam   penilaian    atau   kajian   tersebut
Jadi  pandangan perspektif kesusastra  ( puisi )  memang   dibenarkan  keberadaannya
Hal ini hendaknya karya  L a l a i k a h  karya dari Tyas Ajeng Natalina dengan permainan rima di akhir baris-baris yang tidak terikat pada bait  tertentu, serta diksi yang ada dalam puisi tersebut hendaknya dapat menjadi perspektif karya kawula muda dalam menyampaikan maksud untuk sebuah puisi religi  generasi  muda dalam mencari bentuknya.