DASAR DASAR MEMAHAMI PUISI KOTEMPORER.kd.7D/XII-XII/2014
Kajian Puisi dari Pandangan
ABSOLUTISME
A. Pengantar Teori
Dalam kajian sastra telah disebutkan baik kajian karya sastra bentuk prosa maupun puisi dapat dilakukan dengan cara kaji yang manganut pandangan Absolutisme, relatifisme maupun cara kaji prerspektif. Dalam tiga cara kaji sastra tersebut di atas saya sengaja akan mengkaji sebuah karya puisi dari satu di antara tiga cara kaji yang ada. Pilihan itu saya lakukan hanya semata-mata karena keterbatasan saya dalam memilih cara tersebut, tetapi bukan karena dengan cara kaji ini berarti saya mutlah mendukung teori tersebut. Cara kaji yang saya pilih adalah kajian karya puisi secara pandangan Absulutisme, yang saya tekankan pada pilihan kata ( diksi ) dan bunyi yang ada dalam puisi sesuai dengan penugasan yang harus saya selesaikan. Sebagai penekanan dalam jara kaji Absolutisme yang saya pilih akan saya ambil beberapa puisi tulisan kawula muda yang senafas dengan puisi Taufik Ismail yang berbeda tingkat kemampuan,waktu serta kondisi penulisnya. Hal ini akan membuktikan benarkah masalah pilihan kata serta bunyi yang ada pada puisi di kedua jaman itu benar-benar mendukung ke-Absolut-an dari cara pandang teori tersebut.
B. Kajian Absolutisme, adalah pandangan penilaian terhadap karya sastra baik bentuk puisi maupun prosa yang dilandasi atas nilai-nilai tertentu , di mana sebuah kebenaran yang berlaku hanya dilandasi atas hal – hal yang tidak mendasar melainkan semata – mata karena sebuah kekuasaan tertentu saja. Kebenaran yang ada hanya didasarkan atas kemauan atau kehendak yang memegang kekuasaan pandangan. Misalnya, suatu rejim memberlakukan suatu pandangan atas kehendak yang diminati tanpa memperhatikan tanggapan atau penilaian lain yang mungkin berbeda atau tidak sama maka itu yang dianggap paling benar, sebaliknya jika sesuatu tidak dikehendaki maka hal tersebut ditolak atau tak dapat diberlakukan tanpa diberi alasan yang logis.Misalnya pada rejim orde baru menerapkan pandangan bahwa buah karya sastra yang dicipta golongan kiri( golongan tak dikehendaki / PKI atau semua penganut ajaran marsisme)saat itu, akan dinyatakan sebagai hasil karya yang tidak layak terbit dan dibaca masyarakat. Sehingga karya sastra yang ditulis atau diterbitkan oleh golongan tersebut dinyatakan tidak bernuansa kebenaran,kebaikan atau segala macam ketidak-cocokan.Sebagai contoh konkrit pengarang besar negeri ini yang diakui dunia Pramudya Ananta Tour dengan seluruh karyanya mengalami pembekuan bahkan pembredelan saat orde baru berkuasa. Sehingga masyarakat dilarang keras untuk memiliki, menyimpan bahkan membacanya. Sehingga karya seperti Perburuan,Keluarga Gerilya,Di Tepi Kali Bekasi,Rumah Kaca,Anak Semua Bangsa hingga “tetralogi” BUMI MANUSIA merupakan karya besar dunia dinyatakan terlarang dan tidak boleh beredar di negeri ini, tanpa ada alasan yang jelas serta penilaian yang mendasar.Masih banyak contoh karya sastra yang mengalami nasib sama dari dua karya prosa demikian pula dalam bentuk puisi dengan kata lain disebut-sebut karya atheis.Contohnya buku-buku karya Pramudya dan pengarang lain yang segolongan.Namun sebaliknya semua eksplosif seperti karya Taufik Ismail yang berbentuk puisi (dalam kumpulan puisinya Tirani dan Benteng) disebut-sebut karya yang baik, sukses . Hal ini semata-mata dirasa sesuai dengan jaman saat itu yang memang mendambakan nuansa keagamaan di mana masyarakat sangat ketakutan untuk disebut-sebut oleh rejim orde baru sebagai aliran fasisme. Sehingga sajak Taufik yang berjudul Yang Kuminta Hanyalah atau Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya, bahkan Surat Ricarda Huch yang ditulis pada tahun 1933 disebut karya yang berhasil, lepas dari kelebihan dan kekurangannya sebagabagimana yang dikemukakan oleh H.B.Yassin dalam bukunya yang berjudul Angkatan ’66 Prosa dan Puisi , bahwa karya Taufik tersebut sangat bernilai estetis yang tinggi.
Hal ini memang perlu diakui bahwa puisi Tafik Ismail memiliki nilai yang cukup tinggi baik karya prosa maupun puisi yang bercorak tertentu yang diminati dan bersifat,jika ditinjau dari sisi estetika, maupun unsur penunjang puisi yang lain. Coba perhatikan permainan bunyi pada baris – baris puisi JAM KOTA , berikut ini
……………………………….
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku !
Permainan rima di akhir baris (ng – ng – a -a dalam puisi lama disebut rumus sajak
a-a-b-b) sangat padu sehingga nuasa estetika yang tampak terasa bahwa pilihan
bunyi untuk menutup larik lariknya benar - benar dipertimbangkan. Lain lagi jika di
perhatikan dari kata yang menonjolkan bobot maknanya, sementara unsure rima
agak disisihkan, maka dapat ditemukan pada baris-baris puisinya yang berjudul
Dari Ibu Seorang Demonstran ;
……………………………………
Tetapi ingatlah , sekali lagi
Jika logam itu memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sesaat )
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walau betapa zalimnya…orang itu.
- 3 -
Dari pengamatan puisi-puisi karya Taufik Ismai di atas bukan berarti pengecilan karya
penulis lain yang waktu,isi,serta hal-hal yang terkait dengan beberadaan sebuah puisi berarti tidak bernilai atau bahkan tak pernah diakui oleh suatu jaman. Di sinilah
ke-Absolutan sebuah kajian sastra khususnya bentuk puisi yang harus diakui bahwa kebesaran nama penulis sangat menentukan keputusan yang cukup berpengaruh dalam suatu jaman, walau kadang karya lain yang disajikan penulisnya memiliki derajat yang sama tetapi nasib yang dialaminya sangat berbeda.Hal ini dapat dibuktikan dalam berbagai masalah dan obyek persoalan.Perhatikan dua petikan puisi di bawah ini yang disajikan oleh dua penulis yang berbeda nama tetapi memiliki waktu,tema bahkan unsur penunjang hampir beda.
Kutipan Puisi :
1. Syair Orang Lapar 2. Saat Mata Ku Memandang
Lapar menyerang desaku, Kaliku memerah airnya.
Warananya tak membiru lagi
Kentang dipanggang kemarau, Anak-anak gila pandang
Surat Orang kampungku, Berlari tunggang langgang
Kuguratkan kertas Saat banyak jasat
Risau. lewat terikat erat
bak ketupat.
Lapar lautan pidato,
Ranah dipanggang kemarau, Kaliku merah airnya
Ketika berduyun mengemis, bau amis,anyir
Kesinikan hatimu pelan menyisir
Kuiris. Kaliku menangis
Seluruh muka merah
warna darah
Lapar di Gunung kidul, Saat mataku memandang ,
Mayat di panggang kemarau, kaliku,……
Berjajar masuk kubur, hatiku goyah,…patah
Kuulang juga, pandang …kaliku
Kalau. Muka warna d a r a h.
Oleh: Iwan Setyawan 1966
Jika diperhatikan dua puisi di atas maka dapat dirasakan bahwa puisi 1 dan puisi 2 adalah puisi yang pilihan kata (diksi) maupun bunyi yang dikehendaki penulisnya benar-benar telah dipikirkan sebaik-baiknya.Sementara dalam puisi bunyi mempunyai peran yang sangat penting,antara lain jika dibaca dan didengarkan sebab pada hakikatnya puisi adalah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti,2002:102). Mengingat pentingnya unsur bunyi dalam karya puisi sampai - sampai seorang penulis puisi
- 4 -
melakukan pemilihan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi.Pertimbangan tersebut antara lain ; Pertama, bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran atau perasan para pembaca atau pendengarnya. Kedua, bagaimanakah bunyi itu dapat membantu menjelakan ekspresi.Ketiga, ikut membangun suasana puisi tersebut.Keempat, mungkin juga membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu ( Sayuti, 2002 : 103 ).Sementara unsur bunyi itu sendiri dalam karya puisi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam,antara lain dari sisi bunyi hingga dibedakan antara sajak sempurna,paruh,aliterasi,asonansi.Sementara dari kata yang mendukung dibedakan menjadi sajak awal,sajak tengah dan sajak akhir.Jika dilihat dari hubungan antar baris dalam tiap bait dikenal adanya sajak terus, sajak selang, sajak berangkai dan sajak peluk. Tetapi kebenaran tentang cara kaji atau cara pandang Absolutisme di sini membuktikan bahwa puisi 1 jauh diagungkan bersama nama besar penulisnya, sedang puisi 2 tidak akan banyak diketahui oleh khalayak saat ini.Sementara dalam hal bunyi maupun pilihan kata pada puisi 2 mungkin tidak banyak tertinggal jauh baik dari penyesuaian waktu
maupun suasananya. Perlu di ketahui puisi 2 adalah puisi yang terbit pada harian ibu kota (Pos Kota ) pada tahun 1965 bulan desember minggu ke 3. Sementara pada puisi 1 ditemukan sajak asonansi pada baris 3dan 4 dan sajak aliterasi pada puisi 2 juga pada baris 5,6 dan 7 masih dalam bait yang sama.Dalam permainan sajak puisi 2 tidak kalah jauh dalam pemilihannya, sementara pada puisi 1 ditemukan permainan sajak asonansi yang ada pada baris 1,2 dan 3 Puisi-puisi seperti puisi 2 saat itu cukup banyak, di mana nuasan nosinya sangat didasari oleh keadaan negeri ini saat itu. Hal inilah yang sebenarnya mendudukkan sama dengan puisi Taufik yang juga menyuarakan situasi (kelaparan dan kemelaratan )saat itu, pada puisi 2 penulisnya Iwan Setyawan menggambarkan hal yang tidak kalah menakutkan sesuai dengan kejadian yang dilihat,pengalaman yang langsung menghadang di depannya betapa mengerikan kali-kali kecil, sunguai-sungai besar waktu itu menjadikan pembuangan jasat kurban pembantaian orang-orang PKI yang telah difonis begitu saja tanpa melalui proses hokum atau pembelaan layaknya terpidana.Tetapi harus diterima dengan besar hati dan penuh kesadaran bahwa cara pandang Absolutisme berlaku mutlak, Taufik Ismail jauh lebih besar disejajarkan dengan Iwan Setyawan , “ ini sebuah kenyataan pandangan “.
Untuk mempertegas bahwa masih banyak puisi-puisi yang menjadi kurban pandangan Absolutisme yang semata-mata dilihat dari siapa penulisnya? Tetapi bukan diksi atau pilihan kata serta permainan bunyi yang digunakan melainkan kekuatan keadaan semata. Berikut ini saya kutibkan beberapa puisi yang senafas dengan puisi-puisi karya Taufik Ismail penyair angkatan ’66.
Puisi 3
Jenasah
Oleh : Iwan Setyawan
Waktu mandi di kali,
sore hari
Sorak menyeruak, memecah kegaduhan riak
Wajah kali keseharian yang tak pernah lepas
Setelah anak-anak bermain gundu di tengah tegal
tangan bergayutan
tertawa bersautan
langkah-langkah kecil
pelan tapi pasti
menuju kali.
Pecah tawa jadi teriakan
waktu air berguyur
bergebyur ke sekujur
Mata sulap dalam sekejap
Jasat mengapung
kembung,
tanpa gembung
Ini jenasah yang pertama sore
e n a m l i m a
jenasah lewat penuh rasa penat.
Nopember sore 1966
C. Kesimpulan
Dalam kajian satra baik dalam bentuk puisi,prosa bahkan dalam bentuk yang lainnya maka
tentang cara pandang teori Absolutisme ini tetap harus diakui keberadaannya. Lepas dari
pendapat setuju atau tidak dalam realita yang ada kekuatan pandangan tentang sebuah kebe
naran yang dipaksakan dengan tanpa didasari oleh sesuatu hal yang riil kadang-kadang
memang harus diterima. Walaupun pemberlakuan teori ini sangat terbatas oleh waktu
Jika kurun waktu yang berlaku terhadap hasil karya yang absolut tersebit masih eksis
maka tidak mungkin untuk mengubah keadaan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam
kajian sastra tentang Absolutisme. Dalam paparan di atas harus diakui bahwa karya puisi
Taufik Ismail “Syair Orang Lapar “ jauh lebih besar,lebih unggul dalam pilihan kata ( diksi)
maupun bunyi – bunyi yang ditemukan dalam deretan baitnya di banding dengan puisi 2
“ Saat Mata Ku Memandang “ karya Iwan Setyawan Keabsolutan inilah yang berlaku
di tengah kalangan masyarakat sampai saat ini, sungguh mengenaskan bahwa suatu hal
termasuk karya puisi akan menjadi kurban keabsolutan pandangan.Ini sisi lain dari pandang
an teori Absolutisme yang sekaligus menjadi kelemahan teori ini.
-sTy-
KAJIAN PUISI DARI PANDANGAN
PERSPEKTIF
A. Pengantar Teori
Kajian Perspektif, adalah sebuah pandangan atau penilaian mengenai karya sastra (prosa maupun puisi ) dipandang sesuai dengan perspektif yang digambarkan Gambaran tentang sebuah karya sastra dapat didasarkan dari berbagai pandangan sehingga penilaian atau pandangan tersebut tidak ada yang mutlak melainkan ke depan pandangan ini dirasakan semakin tumbuh. Dalam kajian perspektif ini memberikan gambaran tentang kebebasan sudut pandang tertentu untuk menyikapi buah karya sastra sesuai dengan proses pertumbuhan atau perjalanan waktu.Dengan demikian kajian ini akan terasa semakin obyektif.Agar jelas tentang kajian perspektif ini dapat disajikan sebuah penilaian terhadap karya prosa atau puisi tertentu yang ada dalam sebuah jaman.Sebuah karya sastra baik bentuk prosa maupun puisi akan dikatan sesuai atau tidak hanya dilandasi oleh unsur tertentu dari karya tersebut.Misalnya dari unsur bahasa,nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,sudut pandang pelaku,alur atau tendens dalam karya tersebut bahkan mungkin ideologi dan lain-lainnya.Jika diperhatikan beberapa istilah yang dihadirkan oleh penulisnya dalam novel Saman pembaca akan merasa risih atau kurang merasa enak untuk mengucapkan istilah istilah tertentu karena dianggap terlalu,kotor,jorok,tidak sopan bahkan terlalu seronok dalam pilihan katanya demikian pula dalam Raumanen karya Maria Katopo yang terlalu berlebihan dalam menggambarkan situasi atau keadaan dalam alur ceritanya, bahkan dalam karya Arminj Pane yang berjudul Belenggu (roman)lebih tragis lagi karena mengalami penolakan pada jaman sastra tertentu di negeri ini ,tepatnya pada masa angkatan 20-an (Balai Pustaka ) buku karya Arminj Pane itu sempat gagal terbit karena semata-mata dianggap melanggar norma tertentu (agama), yang telah ditentukan atau dipatok saat itu.Karena isinya menyinggung salah satu agama di mana tokoh dan isi cerita yang seharusnya bernormatif keagamaan justru oleh Arminj Pane ditempatkan pada posisi titik yang kurang tepat yakni hubungan di luar nikah yang saat itu dianggap norma.
Hal di atas sebagai penegas tentang kajian teori perspektif ini, tetapi dalam karya puisi pun dijumpai pula hal seperti uraian di atas. Dapat dibuktikan puisi-puisi karya Arminj Pane yang diberi judul Jiwa Berjiwa (1939) dianggap tidak menarik lagi karena pilihan kata dalam puisinya (diksinya) tidak berkekuatan sehingga menimbulkan penilaian bahwa kata-kata yang ada di dalamnya hanya bersifat keseharian saja sehingga tidak dapat menimbulkan minat pembacanya.
Pandangan tersebut tampaknya tak beralasan kuat bahwa Arminj Pane adalah penulis puisi yang tidak punya nyali, hal ini dapat dijawab pada tulisan berikutnya yang membuktikan bahwa jiwa atau perasaan Arminj Pane berada pada posisi jiwa sesudah perang. Perhatikan puisi Arminj Pane berikut ini !
JIWA TELAH MERENGGAS
Jiwaku pohon telah merenggas.
Terujam terhening disenja hari,
Mengendangkan tangan tegang mati,
Hari bening, tenang sunyi,
Bulan bersih dikelir terentang,
Sepi sunyi alam menanti.
Pandangan semacam hal di atas merupakan perspektif nyata yang pernah ada dalam sejarah seorang penulis bersama karya-karyanya. Perubahan keadaan dari sisi pandang maupun karya-karyanya merupakan pandangan atau penilaian yang beraneka warna adalah realita yang dapat dianggap sebagai kemajuan dalam langkah-langkah sastra khususnya karya puisi.
Untuk mengikuti pandangan kajian perspektif ini lebih konkrit lagi coba perhatikan puisi di bawah ini !
L A L A I K A H
Luluh sudah hati ini Semua membuat menjadi merona,
Walau hanya sesaat Jika mentari,
Tali kerudung di dahi Mulai berseri,
Pengikat rambut nan lebat Waktu hari pagi,
Oh… Maha suci hidup ini.
Saat azan mulai tiba
Sudah mulai terasa oleh: Tyas Ajeng Natalina
Membasuh luka desember akhir 2006
Lama
Lama sudah aku mencari jalan
Rentang menganga
Permainan sajak atau rima serta diksi yang ada dalam puisi di atas mungkin biasa saja,bahkan dapat dikatakan terlalu sederhana.Tetapi perlu diakui bahwa permainan bunyi di akhir baris pada bagian-bagian tertentu sudah dapat dibedakan dengan puisi lama yang menitik beratkan pada akhir baris pada bait-baitnya (pantun atau syair).Tetapi penulis muda si Tyas Ajeng ini sudah berani menyusun deretan kata katanya dalam baris yang tidak terikat pada bait yang telah dipatok pada puisi lama.Perombakan inilah yang dapat dipandang dari sisi zaman sastra yang lain di mana puisi yang berjudul Lalaikah telah mampu menempati ratusan bahkan ribuan puisi anak-anak slta negeri maupun swasta yang dapat terbit pada kolom kaki langit di majalah Horizon pada saat ini. Dari isinya dapat di tempatkan nilai religius yang kuat di mana saat ini sangat ditunggu betapa nisbinya hal itu bagi kawula muda yang hampir kehilangan pegangan dan bentuk diri yang pasti.
B. Kesimpulan
Dari kajian perspektif puisi dapat saya simpulkan bahwa karya puisi yang disajikan para penulisnya (penyair) kadang memang dapat dipandang dari sisi berbeda,namun pandangan yang beragam itu dapat menggambarkan betapa kemajauan pandangan dari berbagai analisis dapat dirasakan. Perbedaan pandangan serta kajian tersebut bukan dijadikan sebagai nilai kurang tetapi bahkan sebaliknya.Sebagaimana dalam karya (prosa) Belengggu oleh Arminj Pane maupun Jiwa Berjiwa (puisi) sisi pandangnya pun berbeda sesaat dianggap gagal tetapi pada saat lain mengalami perubahan pandangan. Hal itu bukan berarti kesalahan dalam suatu penilaian
atau kajian tetapi merupakan pembaruan dalam penilaian atau kajian tersebut
Jadi pandangan perspektif kesusastra ( puisi ) memang dibenarkan keberadaannya
Hal ini hendaknya karya L a l a i k a h karya dari Tyas Ajeng Natalina dengan permainan rima di akhir baris-baris yang tidak terikat pada bait tertentu, serta diksi yang ada dalam puisi tersebut hendaknya dapat menjadi perspektif karya kawula muda dalam menyampaikan maksud untuk sebuah puisi religi generasi muda dalam mencari bentuknya.